Bulan Suro dalam Tradisi Jawa

Dalam budaya Jawa, bulan Suro dikenal sebagai bulan yang istimewa dan penuh makna spiritual. Namun, yang menarik, bulan Suro justru dilarang untuk menikah. Larangan ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat hingga saat ini, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Lalu, mengapa bulan yang dianggap sakral ini malah dihindari sebagai waktu pernikahan?


Bulan Suro dalam Tradisi Jawa

https://shiotogel4d.org/ – Bulan Suro dianggap sakral . Menurut kepercayaan Jawa, bulan Suro merupakan momen untuk menyucikan diri, merenung, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyak orang Jawa menggunakan waktu ini untuk melakukan tirakat, tapa, atau ritual spiritual lainnya.

Budayawan Jawa, seperti Ki Bambang Suwarno, menyebutkan bahwa Suro adalah bulan untuk “menenangkan batin”, bukan untuk merayakan kegembiraan. Oleh karena itu, kegiatan meriah seperti pesta pernikahan dianggap tidak selaras dengan energi spiritual bulan ini.


Larangan Menikah di Bulan Suro

Larangan menikah di bulan Suro bukan tanpa alasan. Secara budaya, masyarakat meyakini bahwa pernikahan yang dilakukan di bulan ini bisa membawa nasib buruk atau kesialan dalam rumah tangga. Selain itu, energi mistis di bulan Suro dianggap terlalu kuat, sehingga dikhawatirkan bisa mengganggu keharmonisan pasangan yang baru menikah. .

Bulan Suro dianggap sakral . Larangan menikah di bulan Suro bukan tanpa alasan. Secara budaya, masyarakat meyakini bahwa pernikahan yang dilakukan di bulan ini bisa membawa nasib buruk atau kesialan dalam rumah tangga. Selain itu, energi mistis di bulan Suro dianggap terlalu kuat, sehingga dikhawatirkan bisa mengganggu keharmonisan pasangan yang baru menikah.

Meski tidak bersifat mutlak, kepercayaan ini masih sangat dipegang teguh oleh kalangan tua atau masyarakat adat. Bahkan, beberapa keluarga menolak lamaran atau menunda pernikahan jika jatuh di bulan Suro.


Perspektif Modern: Antara Mitos dan Keyakinan

Di sisi lain, generasi muda mulai mempertanyakan larangan ini. Banyak yang menganggapnya sebagai mitos yang tidak memiliki dasar ilmiah. Namun, budayawan menyarankan agar tetap menghormati nilai-nilai budaya lokal, terutama jika menyangkut restu orang tua dan adat setempat.

baca juga : Squid Game 3 Sudah Tayang: Ending Bahagia atau Tragis?